Sabtu, 27 Maret 2010

Proses Thalaq dalam Syariat

Thalaq adalah melepaskan kembali ikatan pernikahan antara suami dan istri dengan lafadz yang sharih (jelas) atau kinayah (sindiran) dengan disertai niat. (Lihat Minhajul Muslim Bab Thalaq, Syeikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi)

Thalaq merupakan perkara yang halal namun dibenci oleh Allah Ta’ala, sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ

“Dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah Thalaq (perceraian).” (HR. Abu Daud No 2174, didhaifkan oleh Albani)

Oleh karenanya, hendaknya janganlah seorang suami menjadikannya sebagai solusi bagi problematika rumah tangganya kecuali jika tidak ada lagi jalan atau solusi lain yang lebih maslahat yang dapat ditempuh untuk memperbaiki hubungannya dengan istrinya.

Disisi lain, seorang suami juga tidak boleh main-main dan bercanda dengan istrinya dengan mengeluarkan kata-kata thalaq/ cerai kepadanya, karena jika kata thalaq atau cerai sudah meluncur dari lisan sang suami kendatipun ia mengucapkannya hanya untuk bercanda atau main-main belaka tanpa disertai dengan niat, namun itu sudah dikategorikan jatuh thalaq untuk istrinya.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ جَدُّهُنَّ جَدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جَدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ

“Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tiga perkara yang baik seriusnya atau main-main (bercanda)-nya akan menimbulkan kepastian hukum, yaitu nikah, thalaq dan rujuk.” (HR. Abu Daud No 2194 dan dihasankan oleh Albani)

Namun jika sang suami mengeluarkan lafadz yang bernada sindiran seperti pulanglah engkau kerumah orang tuamu, maka kata-kata ini tidak dikategorikan thalaq kecuali jika ia mengucapkannya dengan berniat menthalaq istrinya, jika ia tidak meniatkannya sebagai thalaq maka tidak jatuh thalaq kepada istrinya.

Walhasil, thalaq dengan menggunakan lafadz apapun baik yang sharih (jelas) seperti engkau saya cerai, atau berbentuk kinayah (sindiran/kiasan) seperti pulanglah engkau ke rumah orang tuamu, itu dihitung thalaq sejak kata-kata tersebut terucap. Dan sejak saat itulah sang istri memulai masa iddahnya sampai waktu yang ditentukan tergantung dengan keadaan istri yang dicerai tersebut, jadi masa iddahnya bisa berupa tiga kali suci, atau tiga bulan, atau sampai melahirkan kandungannya jika ia hamil, demikian seterusnya.

Thalaq Satu dan Dua

Thalaq satu dan dua atau sering disebut dengan istilah Thalaq raj’iy adalah thalaq yang masih memberikan kebolehan bagi suami untuk merujuk kembali istrinya pada masa ‘iddah-nya tanpa melalui akad baru, meskipun tanpa keridlaan dari sang istri.[1]
Dalil masyru’-nya thalaq raj’iy adalah firman Allah ta’ala :
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik” [QS. Al-Baqarah : 229].
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
”Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah” [QS. Al-Baqarah : 230].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
وقوله: { فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ } أي: إذا طلقتها واحدة أو اثنتين، فأنت مخير فيها ما دامت عدتها باقية، بين أن تردها إليك ناويًا الإصلاح بها والإحسان إليها، وبين أن تتركها حتى تنقضي عدتها، فتبين منك، وتطلق سراحها محسنًا إليها، لا تظلمها من حقها شيئًا، ولا تُضارّ بها.
”Dan firman-Nya ta’ala : ’setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik’ ; maksudnya adalah : jika engkau (suami) mengucapkan thalaq kepada istri pada saat kali pertama atau kedua, maka engkau mempunyai dua pilihan selama masa ’iddah-nya masih ada. Yaitu, (1) mengembalikannya kepadamu (merujuknya) dengan maksud mengadakan ishlah (perbaikan) dan berbuat baik kepadanya, atau (2) membiarkannya hingga selesai masa ’iddah-nya hingga akhirnya engkau menceraikannya. Maka ceraikanlah denga cara yang baik dengan tidak mendhalimi haknya sedikitpun dan tidak pula merugikannya”.[2]
Thalaq raj’iy ini berlaku setelah menjatuhkan thalaq satu dan dua, selain dari thalaq baain kubraa (thalaq yang ketiga), selama rujuk dilakukan sebelum masa ‘iddah selesai. Namun jika masa ‘iddah selesai, maka status thalaq tersebut berubah menjadi thalaq baain (shughraa), sehingga suami tidak berhak merujuk istrinya kembali yang telah di-thalaq-nya itu, kecuali melalui akad dan mahar yang baru.[3]
Adapun syarat sahnya rujuk dalam thalaq raj’iy antara lain adalah [4] :
1. Rujuk yang dilakukan adalah rujuk setelah thalaq raj’iy (yaitu setelah thalaq pertama dan kedua).
2. Rujuk tersebut dilakukan setelah digaulinya istri yang di-thalaq tersebut oleh suaminya. Apabila suami men-thalaq-nya sebelum menggaulinya dan kemudian ingin rujuk kepadanya, maka ini tidak boleh dengan kesepakatan ulama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ’iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya” [QS. Al-Ahzaab : 49].
3. Rujuk yang dilakukan adalah pada masa ’iddah. Apabila telah selesai masa ’iddah-nya, maka tidak sah untuk merujuk kembali wanita yang telah di-thalaq-nya itu dengan kesepakatan fuqahaa’. Hal itu didasarkan oleh firman Allah ta’ala :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [QS. Al-Baqarah : 229].
4. Perceraian yang dilakukan – sebelum rujuk – bukan merupakan pembatalan (faskh) aqad nikah.
5. Perceraian dilakukan tidak dengan ’iwadl (pengganti). Apabila perceraian tersebut disertai dengan ’iwadl, maka tidak sah dilakukan rujuk, karena dalam kondisi tersebut si istri lepas untuk selamanya (baain) dengan penebusan dirinya kepada suaminya berupa materi yang membuat hubungan mereka menjadi terlarang.
Dikecualikan jika istri ridla untuk dirujuk (saat dalam masa ’iddah-nya), seperti dalam kasus khulu’[5]. Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
وليس للمخالع أن يراجع المختلعة في العدة بغير رضاها عند الأئمة الأربعة وجمهور العلماء؛ لأنها قد ملكت نفسها بما بذلت له من العطاء. ....
”Tidak diperbolehkan bagi suami (mukhaali’) untuk kembali pada istri (mukhtali’ah) saat masa ’iddah kecuali dengan keridlaannya menurut imam empat dan jumhur ulama, karena pada saat itu istri berkuasa atas dirinya sendiri melalui tebusan yang telah diberikan kepada suami....”.[6]
Meskipun telah dithalaq (raj’iy) oleh suaminya, maka wanita tersebut selama menjalani masa ’iddah secara hukum statusnya masih sebagai istri selain dalam hak mendapat giliran (bila suaminya berpoligami). Keduanya masih saling mewarisi apabila salah satunya meninggal dunia dalam masa ’iddah tersebut. Hal ini telah menjadi kesepakatan ulama.
Apabila si istri telah mandi suci setelah menjalani masa haidl yang ketiga dan si suami tetap tidak merujuknya, maka dia lepas dari suaminya selamanya (menjadi thalaq baain shughraa), sehingga suaminya tidak boleh menyentuhnya lagi kecuali dengan aqad dan mahar yang baru. Dan itupun harus berdasarkan persetujuan wanita tersebut beserta walinya.
Disunnahkan (tidak wajib) ketika merujuknya (dalam masa ’iddah) menyertakan saksi berdasarkan firman Allah ta’ala :
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ
”Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah” [QS. Ath-Thalaq : 2].
Rujuk dalam dilakukan dengan beberapa hal sebagai berikut [7] :
1. Rujuk dengan perkataan.
Jenis ada dua, yaitu dengan kalimat sharih dan dengan kalimat kinayah. Jenis kalimat sharih misalnya : ”aku telah merujukmu kembali”, ”aku telah mengembalikanmu kepada tanggung jawabku”, atau yang semisalnya yang menunjukkan makna sama. Kalimat jenis ini sah, baik dengan atau tanpa disertai niat rujuk. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Rujuk dengan kalimat kinayah adalah seperti misal : ”engkau bagiku seperti yang dulu”, ”engkau adalah istriku”, ”aku telah mengembalikanmu”, dan yang semisalnya; maka ini tergantung pada niatnya. Jika orang tersebut berniat untuk rujuk, maka sah rujuknya. Jika tidak, maka tidak sah.
2. Rujuk dengan perbuatan.
Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Hanafiyyah berpendapat bahwa rujuk dengan perbuatan itu sah dengan berjima’ atau melakukan hal-hal yang menjadi muqaddimahnya seperti menyentuh atau menciumnya dengan syahwat dan juga sengaja melihat farjinya; baik dengan atau tanpa niat untuk rujuk. Malikiyyah berpendapat bahwa rujuk dengan perbuatan itu sah dengan berjima’ atau melakukan hal-hal yang menjadi muqaddimahnya, dengan syarat ia melakukannya dengan niat untuk rujuk. Hanabillah – dan itu merupakan riwayat pilihan mereka dari Ahmad bin Hanbal - , Ibnul-Musayyib, Al-Hasan, Ibnu Sirin, ’Atha’, Thawus, Az-Zuhriy, Ats-Tsauriy, dan Al-Auza’iy berpendapat bahwa rujuk dengan perbuatan hanya sah dengan jima’ saja, baik dengan atau tanpa niat untuk rujuk. Syafi’iyyah berpendapat bahwa rujuk dengan perbuatan itu hanya sah dengan perkataan saja, tidak dengan jima’ atau yang lainnya.
Pendapat yang rajih dari sekian pendapat di atas adalah bahwasannya rujuk itu sah dengan jima’ dengan atau tanpa niat untuk rujuk. Adapun tentang muqaddimah-muqaddimah jima’, maka itu tergantung dari niatnya. Jika ia berniat dengan itu untuk rujuk, maka sah rujuknya. Namun jika ia tidak berniat untuk rujuk, maka tidak sah rujuknya. Wallaahu a’lam.
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.


[1] Dalilnya adalah :
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah” [QS. Al-Baqarah : 228].
[2] Tafsiir Ibni Katsiir, 1/611-612.
[3] Shahih Fiqhis-Sunnah 3/262 dan Al-Fiqhul-Islamiy wa Adillatuhu 7/432.
[4] Shahih Fiqhis-Sunnah, 3/264 dengan peringkasan seperlunya dan sedikit penambahan.
[5] Khulu’ adalah perceraian antara suami dan istri yang dilakukan dengan menyerahkan pengganti (‘iwadl) kepada pihak suami oleh istri. Hal ini dilakukan karena ada faktor ketidaksukaan dari istri terhadap suami karena mempunyai perangai atau rupa yang tidak baik (jelek), dan dia khawatir tidak dapat menunaikan hak Allah dengan menaati suaminya.
[6] Tafsir Ibni Katsiir, 1/620 dan Adlwaaul-Bayaan, 1/148.
[7] Selengkapnya silakan periksa Shahih Fiqhis-Sunnah 3/268-271.

Kamis, 25 Maret 2010

Hal-Hal Yang Membatalkan Islam

Berikut ini adalah beberapa perkara yang berbahaya yang bisa membatalkan keislaman seseorang yang melakukan perkara-perkara tersebut atau salah satunya, di antaranya:

1. Melakukan perbuatan syirik dalam beribadah kepada Allah, berdasarkan firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan mengampuni selain dosa syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48)

2. Siapa saja menjadikan perantara antara dirinya dan Allah dengan berdo’a kepada perantara itu, atau meminta syafaat, atau bertakwil kepadanya, maka dia kafir sesuai dengan ijma’ ulama.


3. Siapa saja tidak mengkafirkan orang musyrik, atau ragu akan kekafiran mereka, atau membenarkan ajaran mereka, maka dia kafir.

4. Siapa saja meyakini bahwa petunjuk (ajaran agama) selain petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih lengkap dari pada petunjuk beliau, atau hukum selain hukum beliau lebih baik daripada hukum beliau, maka dia kafir.

5. Siapa saja membenci sesuatu yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun dikerjakannya, maka dia kafir; berdasarkan firman Allah: “Yang demikian itu adalah karena mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (al-Qur’an) lalu Allah menghapus (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad: 9)

6. Siapa saja mengolok-olok sesuatu dari agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau pahalanya, atau siksanya, maka sungguh dia telah kafir sesuai dengan ijma’ para ulama; karena Allah berfirman: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (At-Taubah 65-66)

7. Sihir, siapa saja melakukannya atau meridhainya, maka dia kafir, karena Allah berfirman: “Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, ‘Sesungguhnya kamu hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir’. “ (Al-Baqarah: 102)

8. Membantu atau menolong orang musyrik melawan kaum muslimin, berdasarkan firman Allah: “Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (Al-Maidah: 51)

9. Siapa saja meyakini bahwa sebagian orang diberi keleluasaan untuk keluar dari ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia kafir; karena Allah berfirman: “Siapa saja mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (Ali Imran: 85)

10. Berpaling dari agama Allah, tidak mau mempelajarinya dan tidak juga mengamalkannya; karena Allah berfirman: “Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling dari padanya, sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As-Sajdah: 22)

Minggu, 21 Maret 2010

IJTIHAD PADA MASA SAHABAT

Pendahuluan
Di masa Nabi, wilayah kekuasaan Islam meliputi semenanjung Arabia. Tetapi sepeninggalnya, wilayah itu lambat laun menjadi semakin luas. Di tahun 14 H, Islam menguasai Damaskus, di tahun 17 H, Syam dan Irak dikuasai orang Islam seluruhnya, hingga sampai di Persia pada tahun 21 H, di tahun 56 H Samarkand dikuasai Islam, dan tahun 93 H Islam masuk Andalusia. Meluasnya wilayah kekuasaan Islam beriringan dengan munculnya persoalan baru di kalangan Islam, sementara petunjuk praktis keagamaan terbatas jumlahnya.
Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lain. Sebagian mereka ada yang memeluk Islam dan sebagian lagi tetap pada agamanya. Ini suatu perkembangan yang belum muncul di zaman Nabi sehingga dibutuhkan suatu aturan baru yang mengatur hubungan orang-orang muslim dengan non muslim.
Dalam menjawab persoalan yang baru, para sahabat terlebih dahulu merujuk ke Alquran. Bila tidak ada di sana mereka berpindah ke al-Hadis. Dengan demikian sumber hukum Islam dimasa ini adalah Alquran dan sunnah Nabi. Berdasarkan kedua sumber itulah para khalifah dan sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
Di masa Abu Bakar, para sahabat menetapkan sesuatu hukum dalam tasyri, yang dihadiri oleh para sahabat besar. Hukum yang dikeluarkan oleh majelis itu disebut ijma’. Umar juga bertindak demikian. Kebanyakan hukum yang diijma para sahabat adalah terjadi pada masa ini.
Sesudah para sahabat besar berpindah ke berbagai kota, maka khalifah menghadapi kesukaran untuk mengumpulkan para ahli. Maka mulailah para sahabat ahli hukum menetapkan hukum secara sendiri-sendiri, timbullah ijtihad fardin. Dan tiap-tiap kota terdapat para sahabat yang memberikan fatwa dan menafsirkan nash. Lantaran ini, terjadilah perselisihan-perselisihan faham diantara mereka dalam menetapkan hukum itu.
Berdasar pada uraian di atas, maka makalah ini akan membahas bagaimana bisa terjadi perbedaan paham para sahabat dalam hal ijtihad.
Definisi Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata جهد artinya: mencurahkan segala kemampuan atau “menanggung beban kesulitan”. Bentuk kata yang mengikuti wazan; Ifti’al (إفتعال) menunjukkan arti: “berlebih” (Mubalaghah) dalam perbuatan. Karena itu kata “Ikatasaba” (إكتسب) mempunyai arti “lebih” dari kata “kasaba” (كسب) .
Arti ijtihad menurut bahasa adalah: mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Kata ijtihad ini tidak dipergunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan dan memerlukan banyak tenaga. Seperti kalimat : “إجتهد فى حمل حجر الرّخا” : “Dia bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga untuk mengangkat batu penggilingan itu”.
Al-Ghazali mengatakan bahwa: Ijtihad ialah pencurahan segala daya usaha dan penumpahan segala kekuatan untuk menghasilkan sesuatu yang berat atau sulit.
Menurut istilah, para ahli Ushul Fiqhi memberikan banyak definisi yang berbeda-beda. Berangkali definisi ijtihad lebih dekat dengan maksud ijtihad tersebut adalah definisi yang diberikan oleh Imam Asy-Syaukani adalah: بدل الوسع فى نبل حكم شر عيّ عمليّ بطريقة ألأستنباطز “mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istimbat (mengambil kesimpilan hukum).”
Imam al-Amidi mendefinisikan ijtihad sebagai berikut : إستفراغ الوسع فى طلب الظنّ يشى‘ من الأ حكام الشرعيّة على وجه يحس العجزيذ عليه. “Mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhanni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari kemampuannya itu”.
Khudhari Bek memberikan pengertian bahwa ijtihad adalah mengerahkan kesungguhan dalam hukum syara’ dari apa yang dianggap syari’.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan ijtihad adalah mencurahkan tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum syara’ (agama) melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara-cara tertentu.
Ijtihad Sahabat
Sejarah mencatat bahwa tanggapan sahabat-sahabat terhadap berbagai permasalahan yang timbul menunjukkan adanya keragaman dan perbedaan. Bagi ulama-ulama yang berpandangan luas, adanya perbedaan-perbedaan sahabat itu dinilai sebagai suatu rahmat bagi umat. Imam al-Syaukani dalam al-I’tisham, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahra, mengatakan bahwa “keragaman pendapat sahabat-sahabat adalah menjadi rahmat bagi umat”. Senada dengan itu diriwayatkan bahwa Umar Ibn Abd al-Azis berkata: sama sekali aku tidak suka seandainya para sahabat Rasulullah tidak berbeda pendapat. Karena sekiranya hanya ada satu pendapat, sesungguhnya manusia akan berbeda dalam kesulitan.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh pendapat para sahabat, untuk menampakkan sebab-sebab perbedaan pendapat mereka.
1. Dimaklumi bahwa Alquran melarang seorang wanita yang bercerai, menikah dengan pria lain sebelum habis masa iddahnya. Di masa Umar r.a. terdapat kasus, seorang janda melanggar aturan ini, menikah dengan pria lain ketika masa iddahnya belum habis. Sebagai pemegang otoritas, Umar menjatuhkan hukuman terhadap kedua orang ini dan memutuskan tali perkawinan ini mereka. Kemudian Umar r.a. berkata: “Perempuan manapun yang dinikahkan pada masa iddahnya, jika suami yang memperistrikannya sempat dukhul maka keduanya diceraikannya dan perempuan itu beriddah dengan sisa iddahnya dari suami yang pertama kemudian laki-laki itu melamar seperti pelamar-pelamar lain. Bila terlanjur dukhul maka keduanya diceraikan kemudian perempuan itu beriddah dengan sisa iddah suami kedua, kemudian laki-laki itu tidak boleh mengawininya selama-lamanya.” Ali berkata “jika isteri telah habis iddahnya dari suami yang pertama, maka orang lain jika mau boleh memperistrikannya”. Keduanya berbeda pendapat dalam mengekalkan haramnya nikah atas suami yang kedua setelah dukhul dengan perempuan yang sedang beriddah. Tentang kasus semacam ini tidak terdapat di dalam Alquran maupun as-Sunnah. Ali r.a. dalam menjawab masalah ini berpegang pada prinsip umum, tidak ada larangan abadi. Maka cukuplah diberikan hukuman fisik dari perceraian, serta iddah ganda. Sementara Umar r.a. dalam mengambil sikap keras itu karena menutup pintu kesalahan yang sama bagi orang lain.
2. Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada saudara-saudara kakek. Adapun Umar memberikan bagian mereka. Abu Bakar menjadikan kakek sebagai ayah dan saudara tidak mewaris bersama ayah, berdasarkan nash dan Umar tidak menjadikannya demikian, dan Zaid bin Tsabit sependapat dengan ini.
3. Ibnu Mas’ud berfatwa dan Umar bin Khattab menyetujuinya bahwa: wanita yang dicerai, tidak haidnya yang ketiga. Zaid bin Tsabit berfatwa, bahwa: wanita itu keluar dari iddahnya kapan saja ia masuk dalam haid yang ketiga. Tempat timbulnya perbedaan adalah perbedaan mereka dalam kata quru’, apakah quru’ itu berarti suci sebagaimana dipahamkan oleh Zaid bin Tsabit dan orang lain apakah quru’ itu haid, sebagaimana dipahamkan oleh Ibnu Mas’ud.
4. Umar bin Khattab berfatwa bahwa: wanita yang dicerai putus (Thalak Bain) itu, mendapat nafkah dan tempat tinggal. Ketika sampai pada hadis Fathimah binti Qais bahwasanya Rasulullah tidak memberikan nafkah dan tidak pula tempat tinggal baginya setelah perceraian yang ketiga, maka ia berkata: kita tidak meninggalkan kitab Tuhan dan Sunnah Nabi kita karena perkataan seorang perempuan yang barangkali ia hafal atau lupa.
5. Umar dan Ibnu Mas’ud menetapkan bahwa: iddah perempuan hamil yang kematian suaminya ialah sampai ia melahirkan kandungannya. Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa: ketentuan iddah hamil adalah pengecualian (Mukhashshis) dari iddah wafat, karena surah al-Thalak diturunkan sesudah al-Baqarah. Berbeda dengan itu, Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas berpendapat bahwa: terhadap perempuan tersebut diberi iddah yang panjang dari iddah hamil dan wafat.
6. Abu Musa al-Asy’ari berfatwa bahwa: cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki) tidak mendapat warisan bila ia mewarisi bersama anak perempuan dan saudara perempuan, akan tetapi setelah kasus yang sama diajukan kepada Ibnu Mas’ud, ia menetapkan sesuai dengan keputusan Rasulullah yaitu bagi anak perempuan seperdua, cucu perempuan seperenam dan sisanya untuk saudara perempuan.
Menurut penelaahan para ahli faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat para sahabat secara garis besarnya berkaitan dengan tiga hal. Yaitu Alquran, Sunnah Rasul. Dan ijtihad itu sendiri.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Alquran antara lain:
1. Adanya kosa kata yang mengandung arti ganda seperti kata quru’ (قرْء) dalam firman QS. 2:228. والمطلقات يتربّصْن بانْفسهنّ ثلاثة قروْءٍ”Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.
Karena kosa kata tersebut mengandung arti haid dan suci sekaligus, maka berdasarkan alasan penguatan masing-masing dikabarkan bahwa Umar Ibn Khatab dan Ibn Mas’ud memfatwakan bahwa: iddah wanita yang dithalak berakhir setelah selesai siklus haid yang ketiga. Akan tetapi Zaid bin Tsabit, karena ia mengartikan kosa kata itu dengan suci, maka setelah masuk pada siklus haid yang ketiga.
2. Adanya kosa kata yang dapat diartikan secara denotatif (al-haqiqah) dan konotatif (majaz), seperti kosa kata Abb ( أب ) bisa diartikan “ ayah “ secara donotatif dan bisa diartikan “ kakek “ secara konotatif. Dalam hal ini terjadi perbedaaan pendapat dalam menempatkan kakek. Bagi yang menempatkan kakek sebagai arti konotatif dari ayah, maka ia bisa menghambat ( hijab ) saudara dari menerima waris. Inilah pendapat Ibnu Khattab, Zaid bin Tsabit, Ali Ibn Abi Thalib memandang bahwa kepada saudara laki-laki dari si mayit hendaklah diberikan warisan bersama-sama kakek dengan cara berbagi, karena mereka mempunyai kedudukan yang sama dalam hubungan dengan si mayit, yaitu sama- sama dihubungkan melalui ayah.
3. Terdapat dua hukum yang berbeda dalam dua persoalan, yang diduga salah satunya mencakup sebagian yang terkandung dalam bagian itu terdapat perlawanan. Contoh adalah ayat tentang wanita yang ber iddah wafat. Ayat itu mewajibkan untuk menanti selama empat bulan sepuluh hari, dan diduga ini mencakup orang yang hamil. Dan ayat thalak menjadikan iddah wanita yang ditinggal mati dan hamil adalah ragu-ragu antara yang terkandung oleh ayat pertama sehingga atas wanita itu wajib menanti empat bulan sepuluh hari meskipun ia melahirkan sebelum itu (empat bulan sepuluh hari) pengamalan terhadap ayat cerai.
Adapun faktor-faktor yang berkaitan dengan sunnah antara lain sebagai berikut:
1. Karena sunnah terhimpun dan belum ada kesepakatan yang menghimpunnya, guna disebarluaskan dikalangan kaum muslimin, sebagai tempat kembali mereka secara serentak tetapi sunnah pada waktu itu dipindah-pindahkan dengan hafalan dan riwayat, yang kadang-kadang diketahui oleh seorang mufti yang lain di Damaskus. Dan banyak mufti-mufti yang menarik kembali fatwanya setelah mengetahui suatu hadis yang selama ini belum diketahui.
2. Terjadi perbedaan penilaian hadis yang mengakibatkan timbulnya perbedaan pendapat. Seperti yang diriwayatkan bahwa Umar Ibn Khattab menolak riwayat Fathimah Binti Qais karena dianggap kontradiktif dengan Alquran, juga kecuruigaannya terhadap kemampuan hafalan perempuan itu. Umar berpendapat atas dasar Alquran surah al-Thalaq ayat 6 bahwa : perempuan yang ditalak tiga wajib diberi nafkah dan tempat tinggal selama dalam iddah, akan tetapi karena penilaiannya berbeda, Ibnu Abbas menerima riwayat Fathimah, sehingga perempuan yang ditalak tiga tidak wajib diberi nafkah dan tempat tinggal.
3. Adanya kehati-hatian sahabat dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Seperti keengganan Abu Bakar pada mulanya untuk menerima riwayat al-Mughirah Ibnu Syu’bah yang mengatakan bahwa : Rasulullah saw memberikan seperenam harta warisan untuk nenek. Setelah Muhammad Ibnu Maslamah tampil sebagai periwayat kedua, barulah Abu Bakar melaksanakan ketentuan tersebut sesuai dengan tuntutan seorang nenek yang datang kepadanya.
4. Adanya sunnah Rasul yang bersifat kondisional dan temporal. Seperti yang diriwayatkan bahwa Umar berpendapat, talak tiga diucapkan sekaligus pada masa kekhalifahannya dihitung jatuh tiga. Untuk itu Umar beralasan bahwa kondisi ummat pada masa Rasulullah saw dan Abu bakar, dan dua tahun awal pemerintahannya tidak sama dengan masa-masa sesudahnya.
Mengenai faktor-faktor yang berkaitan dengan ijtihad, perbedaan pendapat umumnya disebabkan perbedaan sahabat dalam menggunakan ra’yu dalam memecahkan persoalan-persolan yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Alquran maupun sunnah. Perbedaan-perbedaan yang disebabkan olah perbedaan pendapat pribadi ini erat kaitannya dengan kepekaan intelektual sahabat-sahabat itu sendiri. Sahabat yang paling menonjol dalam menggunakan pendapat pribadi ( ra’yi ) menurut Ahmadin ialah Al-Khathab.
Bahwa perbedaan-perbedaan pendapat masa ini tidak banyak, karena keputusan mereka sekedar peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa itu tidak dikukuhkan. Dan sedikit fatwa-fatwa itu yang berasal dari pendapat mereka setelah mereka berijtihad dan membahasnya. Orang-orang yang terkenal mengeluarkan fatwa pada masa ini ialah para khalifah empat ( khulafur- al-rasyidun ), Abdullah Ibn Mas’ud, Abu Musa al-asy’ari, Muaz Ibn Jabal , Ubay Ibn Kaab dan Zaid bin Tsabit. Diantara mereka yang banyak berfatwa adalah Umar Ibn al-Khathab, Ali Ibn Abi Thalib, Abdullah Ibn Mas’ud, dan Zaid Ibn Tsabit.
Penutup
Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat sahabat antara lain :
1. Berbedanya fatwa karena perbedaan dalam memahami Alquran. Demikian ini karena beberapa segi :
a. Adanya kosa kata yang mengandung arti ganda seperti kata quru’ dalam surah al-Baqarah ayat 228.
b. Ada pula kosa kata yang dapat diartikan haqiqah dan juga secara majaz, seperti kata abb ( أب ), bisa diartikan ayah dan juga kakek.
c. Terjadinya semacam kontradiksi ( ta’arud al-nushush ) ) antara ayat-ayat yang membawa pengertian umum, seperti dalam surah al-Thalaq ayat 4; iddah wanita yang hamil, dengan surat al-baqarah ayay 234, iddah wafat.
2. Ada pula faktor-faktor yang berkaitan denagn sunnah .
a. Sunnah Rasulullah belum dikodifikasikan dan tingkat pengetahuan para sahabat tentang hadis berbeda. Olehnya itu ada hadis yang diketahui sahabat, sementara yang lain tidak mengetahuinya.
b. Para sahabat berbeda dalam penilaian hadis serta berhati-hati dalam menerima periwayatan hadis.
c. Ada hadis yang dianggap bersifat kondisional dan temporal sehingga tidak dapat diterapkan pada masa sesudahnya.
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan ijtihad. Oleh karena lingkungan hidup mereka adalah berbeda-beda dan kemaslahatan serta kebutuhan akan aturan-aturanpun tidak sama, dengan demikian berbeda pula pandangan-pandangan mereka dalam penggunaan ra’yu di dalam memecahkan persoalan-persoalan yang tidak terdapat ketentuannya dalam Alquran dan al-hadis.

Sumber : Idris K

DAFTAR PUSTAKA

Bek, Khudhari. Tarikh Tasyri’ Islami, diterjemahkan oleh Muhammad Zuhri dengan judul Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Semarang: Darul Ihya,1980
Departemen Agama RI., al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, 1989/1990
Khallaf, Abdul Wahab. Tarikh Tasyriy al-Islamy, Diterjemahkan oleh Imran AM, dengan judul Ikhtisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam Surabaya; Bina Ilmu; 1998
Nuruddin, Amiur. Ijtihad Umar bin Khatab, Jakarta: Rajawali, 1987
Qardhawi, Yusuf al-Ijtihad Fisy Syari’atul Islamiyah, dialih bahasakan oleh H. Achmad Syathari dengan judul Ijtihad dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1987
Sirry, Mun’im A. Sejarah Fiqhi Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1995
Ash Shiddieqy, Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqhi, Jakarta: Bulan Bintang, 1967
Zuhri, Muh. Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996

Sabtu, 20 Maret 2010

Mengenal Bidadari Penduduk Surga


Profil Bidadari Surga

Di dalam Ash-Shahihain, dari hadits Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah r.a.,ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
” Rombongan pertama yang melesat ke surga, rupa mereka seperti rembulan di malam purnama. Didalam surga, mereka tidak meludah, tidak membuang ingus, dan tidak buang air besar atau kecil. Bejana dan sisir mereka dari emas dan perak. Pedupaan mereka adalah kayu gaharu yang harum. Keringat mereka harum seperti minyak kesturi. Setiap orang akan mendapat dua orang istri yang terlihat sumsum tulang betisnya dari balik dagingnya, karena indahnya. Mereka tak saling bertengkar atau membenci.Hati mereka menyatu, bertasbih menyucikan Allah di pagi dan petang hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Wahab meriwayatkan hadits yang berasal dari Abu Said al-khudri r.a., ia berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ” Seorang laki-laki di surga akan didatangi oleh seorang wanita yang menepuk pundaknya. Lalu pria itu dapat melihat wajahnya sendiri pada pipi wanita tersebut yang lebih jernih dari cermin. Mutiara terkecil yang menghiasinya dapat menerangi cakrawala dari timur ke barat. Wanita itu lantas memberi salam kepadanya dan laki-laki itu menjawab salamnya, kemudian bertanya, ‘Kamu ini siapa?’ Wanita jeli itu menjawab, ‘Aku adalah bonus(tambahan) bagimu. ‘ Ia mengenakan tujuh puluh pakaian, bagian bawahnya seperti daun nu’man dari lembah Thuwa. Ketika laki-laki itu memandangnya, maka pandangan itu menembus hingga sumsum tulang betis wanita itu yang ada di balik pakaiannya. Di kepala wanita itu ada beberapa mahkota cahaya yang berkilauan, dimana mahkota yang kecil saja dapat menerangi cakrawala di antara timur dan barat.”(HR. Ahmad dan at-Tirmidzi)
Ibnu Wahab meriwayatkan hadits yang berasal dari Abu Said al-Khudri r.a., bahwa Nabi saw. bersabda, ” Penduduk surga yang paling rendah kedudukannya adalah yang memiliki delapan puluh ribu pelayan dan tujuh puluh dua isteri bidadari. Ia diberi mahkota yang terbuat dari mutiara dan permata, seluas area yang ada antara Jabiyah dan Shan’a.” (HR. at-Tirmidzi)
“Seorang mukmin di surga akan mendapat kekuatan ini dan ini untuk berhubungan dengan wanita.” Aku bertanya, ” Wahai Rasulullah, apakah ia mampu melakukannya?” Beliau menjawab,”Ia diberi kekuatan seratus kali lipat.” Anas bin Malik kepada Rasulullah. (HR. at-Tirmidzi)
Di dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan dari Usamah bin Zaid r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Apakah kalian siap menuju surga? Sesungguhnya di surga itu tidak ada kekhawatiran. Demi Tuhan Ka’bah, surga itu mempunyai cahaya yang berkilauan, harum semerbak, kerajaan yang megah, sungai yang mengalir, buah-buahan yang segar dan masak, isteri-isteri yang cantik jelita, pakaian yang banyak, tempat menetap yang abadi, negeri yang damai dan penuh buah-buahan, sayu-sayuran, kegembiraan, dan kenikamatan di tempat yang tinggi dan indah.” Para shahabat berkata, “Benar wahai Rasulullah, kami siap menuju surga.” Beliau bersabda, ” Katakan, jika Allah menghendaki (insya Allah)!” Lalu mereka berkata, “Insya Allah!”
Jika memang masih ada sedikit iman di hati anda… Siapkah anda melamar bidadari tersebut? Mari katakan, “Insya Allah!”
Dikutip dari Kitab Raudhatul Muhibbin karya Ibnu Qayyim Al-Jauziah

Di dalam Ash-Shahihain, dari hadits Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah r.a.,ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,

” Rombongan pertama yang melesat ke surga, rupa mereka seperti rembulan di malam purnama. Didalam surga, mereka tidak meludah, tidak membuang ingus, dan tidak buang air besar atau kecil. Bejana dan sisir mereka dari emas dan perak. Pedupaan mereka adalah kayu gaharu yang harum. Keringat mereka harum seperti minyak kesturi. Setiap orang akan mendapat dua orang istri yang terlihat sumsum tulang betisnya dari balik dagingnya, karena indahnya. Mereka tak saling bertengkar atau membenci.Hati mereka menyatu, bertasbih menyucikan Allah di pagi dan petang hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Wahab meriwayatkan hadits yang berasal dari Abu Said al-khudri r.a., ia berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ” Seorang laki-laki di surga akan didatangi oleh seorang wanita yang menepuk pundaknya. Lalu pria itu dapat melihat wajahnya sendiri pada pipi wanita tersebut yang lebih jernih dari cermin. Mutiara terkecil yang menghiasinya dapat menerangi cakrawala dari timur ke barat. Wanita itu lantas memberi salam kepadanya dan laki-laki itu menjawab salamnya, kemudian bertanya, ‘Kamu ini siapa?’ Wanita jeli itu menjawab, ‘Aku adalah bonus(tambahan) bagimu. ‘ Ia mengenakan tujuh puluh pakaian, bagian bawahnya seperti daun nu’man dari lembah Thuwa. Ketika laki-laki itu memandangnya, maka pandangan itu menembus hingga sumsum tulang betis wanita itu yang ada di balik pakaiannya. Di kepala wanita itu ada beberapa mahkota cahaya yang berkilauan, dimana mahkota yang kecil saja dapat menerangi cakrawala di antara timur dan barat.”(HR. Ahmad dan at-Tirmidzi)

Ibnu Wahab meriwayatkan hadits yang berasal dari Abu Said al-Khudri r.a., bahwa Nabi saw. bersabda, ” Penduduk surga yang paling rendah kedudukannya adalah yang memiliki delapan puluh ribu pelayan dan tujuh puluh dua isteri bidadari. Ia diberi mahkota yang terbuat dari mutiara dan permata, seluas area yang ada antara Jabiyah dan Shan’a.” (HR. at-Tirmidzi)

“Seorang mukmin di surga akan mendapat kekuatan ini dan ini untuk berhubungan dengan wanita.” Aku bertanya, ” Wahai Rasulullah, apakah ia mampu melakukannya?” Beliau menjawab,”Ia diberi kekuatan seratus kali lipat.” Anas bin Malik kepada Rasulullah. (HR. at-Tirmidzi)

Di dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan dari Usamah bin Zaid r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

“Apakah kalian siap menuju surga? Sesungguhnya di surga itu tidak ada kekhawatiran. Demi Tuhan Ka’bah, surga itu mempunyai cahaya yang berkilauan, harum semerbak, kerajaan yang megah, sungai yang mengalir, buah-buahan yang segar dan masak, isteri-isteri yang cantik jelita, pakaian yang banyak, tempat menetap yang abadi, negeri yang damai dan penuh buah-buahan, sayu-sayuran, kegembiraan, dan kenikamatan di tempat yang tinggi dan indah.” Para shahabat berkata, “Benar wahai Rasulullah, kami siap menuju surga.” Beliau bersabda, ” Katakan, jika Allah menghendaki (insya Allah)!” Lalu mereka berkata, “Insya Allah!”

Jika memang masih ada sedikit iman di hati anda… Siapkah anda melamar bidadari tersebut? Mari katakan, “Insya Allah!”

Dikutip dari Kitab Raudhatul Muhibbin karya Ibnu Qayyim Al-Jauziah

Berdakwah Dalam Dunia Maya

Jaman Informasi

Jaman sekarang adalah jaman informasi. Setelah manusia mengalami revolusi industri, kini kita sedang menjalankan revolusi informasi. Menurut seorang pakar komunikasi, Dissayanake, revolusi komunikasi adalah peledakan teknologi komunikasi dengan meningkatnya pemakaian satelit, mikro-prosesor, komputer, dan pelayanan radio bertahap tinggi. Penggunaan barang-barang canggih itu ada di mana-mana.

Berkat kecanggihan teknologi pengiriman informasi jadi gampang nian. Dulu, berkirim kabar terbatas lewat tabuhan beduk, kepulan asap ala orang Indian, kurir surat ala Poni Express, sampai telegraf. Sekarang? Cukup memencet keyboard komputer atau ponsel, kita sudah bisa ber-say hello pada kawan di tempat terjauh sekali pun.

Salah satu fasilitas yang bikin pencarian informasi jadi gampang adalah internet, dunia maya atau cyberspace. Istilah cyberspace pertamakali dipopulerkan seorang novelis Amrik, William Gibson lewat novel fiksi-ilmiahnya pada tahun 1984, Neuromancer. Gibson bilang kalau cyberspace itu adalah sebuah tempat yang “tak terbayang kompleksnya”.

Dengan internet, komputermu di rumah atau di warnet bisa terhubung ke jutaan komputer lain di pojok dunia secara online. Berkat software browser, kamu juga bisa melacak jutaan informasi di dunia maya itu. Mau informasi yang bernilai pahala sampai yang dosa ada, komplit bak jamu gendong.

Perang informasi

“Knowledge is power!” kata orang. Berkat pengetahuan orang bisa bikin mesin industri, bisa mengeksplorasi perut bumi, menjelajah angkasa, dan bikin senjata. Sekarang, “Information is power!”. Yup, siapa yang memegang informasi, dia bakal menguasai dunia. Nggak main-main. Bukankah pikiran manusia tergantung informasi? Orang bisa benci pada Taliban, al-Qaeda, Osamah Bin Laden, Negara Islam, karena informasi yang mereka terima. Dunia bisa berdiri di belakang Amerika untuk menghajar Irak karena informasi yang disebarkan Paman Sam.

Medan perang informasi ini adalah media massa; cetak maupun elektronik. Apa yang kamu lihat dan kamu baca, seringkali nggak seperti adanya. Ada ‘kosmetik’ yang dipasang para redaktur media untuk bikin ‘cantik’ sebuah berita, atau justru bikin realita tambah ‘angker’. Sebagai contoh, AS pernah bikin cerita bohong soal pembebasan seorang tentara wanita (GI Jane) yang bernama Lindsay Jhonson dari pasukan Irak. Diceritakan kalau prajurit ini mengalami penyiksaan dan pelecehan seksual, dan untuk membebaskannya pasukan AS berjibaku, baku tembak dengan tentara Irak. Kenyataannya, Lindsay justru dirawat baik-baik oleh dokter-dokter Irak, dan diserahkan oleh mereka kepada pasukan AS. What a lie, Sam!

Internet juga menjadi medan tempur baru. Apalagi dengan jumlah pengunjungnya yang bisa mencapai jutaan orang, internet jadi sarana yang terbilang efektif untuk menebarkan perang opini. Di sini, beragam orang dan kelompok, menyebarkan macam-macam propaganda buat jutaan netter. Pornografi – mulai dari yang normal sampai abnormal –, gosip artis, sampai tips untuk bunuh diri juga ada. Bahkan sekte-sekte keagamaan seperti Gerbang Surga (Heaven’s Gate) juga buka warung di dunia maya. Belum lagi gosip-gosip yang ketauan juntrungannya sering beredar di sini. Itu sebabnya, dulu, orang menganggap internet adalah pelempar informasi sampah, saking banyaknya berita bohong yang bersliweran.

Ajang Dakwah
But, nggak semua penghuni dunia maya itu buruk, bro! Alhamdulillah kini semakin banyak aje para aktivis dakwah yang memanfaatkan internet sebagai sarana dakwah. Sejumlah situs-situs Islam juga bertebaran dengan tampilan yang ciamik, keren gitu. Aneka informasi bisa kamu buka di beragam situs Islam. Ada situs Islam yang mengkhususkan diri membahas masalah-masalah politik, ada juga situs berita, konsultasi rumah tangga, dsb. Beberapa situs Islam juga tampil dalam bentuk portal.

Ajang dakwah via dunia maya ini tampil dalam beragam bahasa, tergantung latar belakang pengelolanya. Ada yang memakai bahasa Inggris, Arab, bahkan Urdu. Tapi buat kamu yang belum trampil cas-cis-cus berbahasa asing, jangan khawatir karena situs yang menampilkan bahasa Indonesia juga ada beberapa biji.

Dakwah via internet ini nggak cuma ada pada halaman berbentuk situs atau web, ada juga beberapa kelompok diskusi atau yang lazim disebut milis. Misalnya, milis Sobat Muda yang dipegang Mas O. Solihin and the gang bisa jadi ajang cuap-cuap plus dakwah buat para penghuninya. Ada juga yang serius macam ISNET yang dikelola beberapa ustadz asal Indonesia yang lagi kuliah di IISTAC Malaysia. Ini milis bisa jadi ajang untuk membedah kesesatan pemikiran orientalis yang juga sedang marak di tanah air.

Masih kurang? Ajang chatting jangan cuma dipakai hahahihi, pake juga dong untuk berdakwah. Lewat chatting yang interaktif dan spontan, kamu bisa memanfaatkannya untuk mempengaruhi pikiran orang supaya tunduk pada Islam.

Nah, jangan dulu berpikiran negatif tentang internet. Ia cuma alat, sama seperti tivi. Isinya tergantung pada kita sendiri. Di tengah pertempuran opini dan propaganda antara Islam dan kekufuran, kita bisa memanfaatkannya untuk ajang dakwah, membela dan meninggikan Islam. Buat kamu yang punya kemampuan mendesain web, kenapa nggak coba untuk bikin situs Islam yang oke. Insyaallah akan bermanfaat untuk umat ini.